Kamis, 14 Mei 2015

PEREKONOMIAN INDONESIA (PEMBANGUNAN DAN OTONOMI DAERAH)

Dalam era reformasi pemerintah telah mengeluarkan kebijakan otonomi daerah.Pertama adalah UU No.22/1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No.25/1999 tentang perimbangan keuangan antarapusat dan daerah. Kedua adalah UU No.32/2004 dan UU No.33/2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Ketiga UU No.12/2008 tentang pemerintahan daerah. UU ketiga ini disebut revisi dari UU pertama dan kedua atas pemerintahan daerah.
Paket kebijakan otonomi daerah pertama dikeluarkan oleh Presiden B.J. Habibie dengan maksud mengubah pola otonomi daerah yang sentralistik (UU No.5/1974 Produk Orba) kearah yang lebih demokratis.
Dalam perjalanannya sesuai dengan kebutuhan demokrasi, UU No.22/1999 telah dinilai baik dari segi kebijakan dan implementasinya, dan ternyata mengalami kelemahan sehingga undang-undang tersebut mengalami revisi menjadi UU.32/2004 dan di revisi lagi menjadi UU No.12/2008.
Dengan lahirnya UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah , yang kini sudah diubah dengan UU 12/2008 diharapkan melahirkan check and balances dalam penyelenggaraan pemerintah daerah sehingga demokrasi tidak lagi sebatas coretan diatas kertas semata.
Gambaran Umum Otonomi Daerah :
A.Konsep Otonomi Daerah
Otonomi daerah dapat diartikan sebagai kewenangan yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerahnya .

B.Pelaksanaan Otonomi Daerah
Pelaksanaan otonomi daerah merupakan titik fokus yang penting dalam rangka memperbaiki kesejahteraan rakyat. Pengembangan suatu daerah dapat disesuaikan oleh pemerintah daerah dengan potensi dan kekhasan daerah masing-masing. Ini merupakan kesempatan yang sangat baik bagi pemerintah daerah untuk membuktikan kemampuannya dalam melaksanakan kewenangan yang menjadi hak daerah. Maju atau tidaknya suatu daerah sangat ditentukan oleh kemampuan dan kemauan untuk melaksanakan yaitu pemerintah daerah. Pemerintah daerah bebas berkreasi dan berekspresi dalam rangka membangun daerahnya, tentu saja dengan tidak melanggar ketentuan hukum yaitu perundang-undangan.

C.Tujuan Otonomi Daerah
Adapun tujuan pemberian otonomi daerah adalah sebagai berikut:
1)Peningkatan pelayanan masyarakat yang semakin baik.
2)Pengembangan kehidupan demokrasi.
3)Keadilan nasional.
4)Pemerataan wilayah daerah.
5)Pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka keutuhan NKRI.
6)Mendorong untuk memberdayakan masyarakat.
7)Menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
D.Asas Otonomi Daerah
Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah menggunakan asas-asas sebagai berikut:
1.Asas Desentralisasi: Penyerahan wewenang oleh pemerintahan pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.Asas Dekonsentrasi: Pelimpahan wewenang oleh pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dan/atau kepala instansi vertikal di wilayah tertentu untuk mengurus urusan pemerintahan.
3.Asas Tugas Pembantuan: Penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah dan/atau desa dan dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan desa serta dari pemerintah kabupaten/kota ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu dalam jangka waktu tertentu disertai pendanaan dan dalam hal tertentu disertai sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.
Otonomi Daerah dalam Perspektif Politik Lokal
      Pelaksanaan otonomi daerah yang dilandasi perubahan paradigma sentralisasi ke paradigma desentralisasi tidak hanya memperkuat otoritas pemerintah daerah serta menghasilkan kemajuan demokrasi di tingkat lokal, akan teta­pi juga pemberdayaan berkelanjutan baik pemerintah daerah provinsi, maupun pemerintah daerah kabupaten/kota. Lahirnya UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah , yang kini sudah diubah dengan UU 12/2008 juga telah melahirkan sistem politik baru di daerah, oleh karena kepala daerah/wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat .
        Dengan demikian proses check and balances dalam penyelenggaraan pemerintah daerah berjalan secara sistemik, oleh karena pada satu sisi DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu yang dilaksana­kan secara regular, demikian pula halnya kepala daerah/wakil kepala daerah yang dipilih secara langsung melalui pemilukada demokratik.
    Dalam hubungan ini pula, otonomi daerah telah mendorong demokratisasi tata kelola pemerintahan. Realisasi otonomi daerah juga telah menghasilkan kepemimpinan daerah yang lebih kredibel dan akuntabel, peningkatan efektivitas fung­si-fungsi pelayanan eksekutif yang terdesentralisasi, penataan sistem administrasi, efisiensi dan standarisasi keuangan daerah yang lebih jelas bersumber pada pen­dapatan Negara dan daerah, serta akselerasi sumber-sumber penerimaan terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam, pajak dan retribusi, juga pinjaman daerah.
Perkembangan masyarakat dalam konteks otonomi daerah tidak dapat dipungkiri telah menghasilkan kondisi obyektif bagi tumbuhnya budaya lokal, serta partisipasi rakyat secara melembaga dan kritis sebagai kontrol politik terhadap penyelengga­raan pemerintahan daerah.
Otonomi Daerah dalam Perspektif Ekonomi
      Di bidang ekonomi, otonomi daerah telah memperkokoh sendi-sendi perekonomian daerah dengan semakin berkembangnya pembangunan infrastruktur yang meng­gerakkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi lokal (local economic growth) serta peningkatan pelayanan kebutuhan dasar masyarakat.
       Kemajuan lain menunjukkan , pelaksanaan otonomi daerah yang menuntut terwu­judnya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) telah mendorong para kepala daerah untuk mengembangkan kepemimpinan yang lebih transparan dan akuntabel, serta mengkondisikan berbagai langkah reformasi birokrasi. Realisasi kebijakan daerah yang memprioritaskan kesejahteraan rakyat, pada satu sisi telah meningkatkan Indeks Pembangunan manusia (IPM) secara rasional, dan pada sisi lain menghasilkan berkembangnya sektor-sektor pendidikan dan kesehatan ser­ta pengurangan kemiskinan.
        Selain itu juga otonomi daerah dalam perspektif ekonomi dituntut harus mampu mewujudkan kemandirian dalam melaksanakan pembangunan, baik dari sisi perencanaan maupun pelaksanaannya sesuai prinsip-prinsip otonomi daerah. Disini daerah dituntut agar mampu untuk mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut, pada dasarnya dilakukan dengan prinsip money follow function(besarnya distribusi keuangan didasarkan oleh distribusi kewenangan, tugas, dan tanggung jawab yang telah ditentukan terlebih dahulu antara pusat dan daerah). Hal ini berarti bahwa setiap bentuk penyerahan kewenangan harus diikuti dengan penyerahan pendanaan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Dalam implementasinya, kepada daerah diberikan sumber sumber pendanaan terutama melalui pengalokasian Transfer ke Daerah seiring dengan pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah. Disamping transfer, pada dasarnya di daerah sendiri telah terdapat kewenangan untuk melakukan pungutan pajak dan retribusi, yang tertampung dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Otonomi Daerah dalam Perspektif Sejarah
        A.Warisan Kolonial
Pada tahun 1903, pemerintah kolonial mengeluarkan Staatsblaad No. 329 yang memberi peluang dibentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan sendiri. Kemudian staatblaad ini deperkuat dengan Staatblaad No. 137/1905 dan S. 181/1905. Pada tahun 1922, pemerintah kolonial mengeluarkan sebuah undang-undang S. 216/1922. Dalam ketentuan ini dibentuk sejumlahprovincie,regentschapstadsgemeente, dan groepmeneenschap yang semuanya menggantikan locale ressort. Selain itu juga, terdapat pemerintahan yang merupakan persekutuan asli masyarakat setempat (zelfbestuurende landschappen).Pemerintah kerajaan satu per satu diikat oleh pemerintahan kolonial dengan sejumlah kontrak politik (kontrak panjang maupun kontrak pendek). Dengan demikian, dalam masa pemerintahan kolonial, warga masyarakat dihadapkan dengan dua administrasi pemerintahan.

B.Masa Pendudukan Jepang
Ketika menjalar PD II Jepang melakukan invasi ke seluruh Asia Timur mulai Korea Utara ke Daratan Cina, sampai Pulau Jawa dan Sumatra. Negara ini berhasil menaklukkan pemerintahan kolonial Inggris di Burma dan Malaya, AS di Filipina, serta Belanda di Daerah Hindia Belanda. Pemerintahan Jepang yang singkat, sekitar tiga setengah tahun berhasil melakukan perubahan-perubahan yang cukup fundamental dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan daerah di wilayah-wilayah bekas Hindia Belanda. Pihak penguasa militer di Jawa mengeluarkan undang-undang (Osamu Seire) No. 27/1942  yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pada masa Jepang pemerintah daerah hampir tidak memiliki kewenangan. Penyebutan daerah otonom bagi pemerintahan di daerah pada masa tersebut bersifat misleading.
C.Masa Kemerdekaan/Orla, Orba, Dan Reformasi

1.Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 menitikberatkan pada asas dekonsentrasi, mengatur pembentukan KND di keresidenan, kabupaten, kota berotonomi, dan daerah-daerah yang dianggap perlu oleh mendagri. Pembagian daerah terdiri atas dua macam yang masing-masing dibagi dalam tiga tingkatan yakni:
a)Provinsi
b)Kabupaten/kota besar
c)Desa/kota kecil.
UU No.1 Tahun 1945 hanya mengatur hal-hal yang bersifat darurat dan segera saja. Dalam batang tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 pasal saja dan tidak memiliki penjelasan.

2.Periode Undang-undang Nomor 22 tahun 1948
Peraturan kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU Nomor 22 tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 10 Juli 1948. Dalam UU itu dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni:
a)Propinsi
b)Kabupaten/kota besar
c)Desa/kota kecil
d)Yang berhak mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.

3.Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957
Menurut UU No. 1 Tahun 1957, daerah otonom diganti dengan istilah daerah swatantra. Wilayah RI dibagi menjadi daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangga sendiri, dalam tiga tingkat, yaitu:
a)Daerah swatantra tingkat I, termasuk kotapraja Jakarta Raya
b)Daerah swatantra tingkat II
c)Daerah swatantra tingkat III.
UU No. 1 Tahun 1957 ini menitikberatkan pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya sesuai Pasal 31 ayat (1) UUDS 1950.

4.Periode Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965
Menurut UU ini, wilayah negara dibagi-bagi dalam tiga tingkatan yakni:
a)Provinsi (tingkat I)
b)Kabupaten (tingkat II)
c)Kecamatan (tingkat III)
Sebagai alat pemerintah pusat, kepala daerah bertugas memegang pimpinan kebijaksanaan politik polisional di daerahnya, menyelenggarakan koordinasi antarjawatan pemerintah pusat di daerah, melakukan pengawasasan, dan menjalankan tugas-tugas lain yang diserahkan kepadanya oleh pemerintah pusat. Sebagai alat pemerintah daerah, kepala daerah mempunyai tugas memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif pemerintahan daerah, menandatangani peraturan dan keputusan yang ditetapkan DPRD, dan mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan.

5.Periode Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
UU ini menyebutkan bahwa daerah berhak mengatur, dan mengatur rumah tangganya berdasar asas desentralisasi, akan tetapi dizaman soeharto pelaksanaannya cenderung sentralistik. Dalam UU ini dikenal dua tingkatan daerah, yaitu daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Daerah negara dibagi-bagi menurut tingkatannya menjadi:
a)Provinsi/ibu kota negara
b)Kabupaten/kotamadya
c)Kecamatan
Titik berat otonomi daerah terletak pada daerah tingkat II karena daerah tingkat II berhubungan langsung dengan masyarakat sehingga lebih mengerti dan memenuhi aspirasi masyarakat. Prinsip otonomi dalam UU ini adalah otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.

6.Periode Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
Pada prinsipnya UU ini mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih mengutamakan desentralisasi. Pokok pikiran dalam penyusunan UU No. 22 tahun  1999 adalah sebagai berikut:
a)Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian kewenangan berdasarkan asas desentralisasi dalam kerangka NKRI.
b)Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah daerah provinsi sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah daerah kabupaten dan daerah kota.
c)Daerah di luar provinsi dibagi dalam daerah otonomi.
d)Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten.
Secara umum, UU No. 22 tahun 1999 banyak membawa kemajuan bagi daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tetapi sesuai perkembangan keinginan masyarakat daerah, ternyata UU ini juga dirasakan belum memenuhi rasa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.

7.Periode Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Pada tanggal 15 Oktober disahkan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah Daerah yang dalam pasal 239 dengan tegas menyatakan bahwa dengan berlakunya UU ini, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku lagi. UU baru ini memperjelas dan mempertegas hubungan hierarki antara kabupaten dan provinsi, antara provinsi dan pemerintah pusat berdasarkan asas kesatuan administrasi dan kesatuan wilayah. Pemerintah pusat berhak melakukan kordinasi, supervisi, dan evaluasi terhadap pemerintahan di bawahnya, demikian juga provinsi terhadap kabupaten/kota. Di samping itu, hubungan kemitraan dan sejajar antara kepala daerah dan DPRD semakin dipertegas dan diperjelas.

8.Periode UU No.12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah
Otonomi Daerah dalam Perspektif Pancasila
Istilah paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan. Menurut Thomas Kuhn, Orang yang pertama kali mengemukakan istilah tersebut menyatakan bahwa ilmu pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma.
Paradigma adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Istilah paradigma makin lama makin berkembang tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan, tetapi pada bidang lain seperti bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi.
Paradigma kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka pikir, kerangka bertindak, acuan, orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah dan tujuan. Sesuatu dijadikan paradigma berarti sesuatu itu dijadikan sebagai kerangka, acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan tujuan dari sebuah kegiatan.

Dengan demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan penting dalam melaksanakan segala hal dalam kehidupan manusia. Pancasila sebagai paradigma, artinya nilai-nilai dasar pancasila secara normatif menjadi dasar, kerangka acuan, dan tolok ukur segenap aspek pembangunan nasional yang dijalankan di Indonesia. Hal ini sebagai konsekuensi atas pengakuan dan penerimaan bangsa Indonesia atas Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional.
Hal ini sesuai dengan kenyataan objektif bahwa Pancasila adalah dasar negara Indonesia, sedangkan negara merupakan organisasi atau persekutuan hidup manusia maka tidak berlebihan apabila pancasila menjadi landasan dan tolok ukur penyelenggaraan bernegara termasuk dalam melaksanakan pembangunan.
Dari aspek ideologi, sudah jelas dinyatakan bahwa Pancasila merupakan pandangan, falsafah hidup dan sekaligus dasar negara. Nilai-nilai Pancasila mengajarkan antara lain pengakuan ketuhanan, semangat persatuan dan kesatuan nasional, pengakuan hak azasi manusia, demokrasi, dan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat. Jika kita memahami dan menghayati nilai-nilai tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan Otonomi Daerah dapat diterima dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui Otonomi Daerah nilai-nilai luhur Pancasila tersebut akan dapat diwujudkan dan dilestarikan dalam setiap aspek kehidupan bangsa Indonesia.
Hambatan Otonomi Daerah
Menurut Penulis, hambatan otonomi daerah ialah sebagai berikut:
1)Pemerintah pusat menganaktirikan daerah
2)Cenderung timbulnya egoisme "Putera Daerah"
3)Mudah tumbuhnya gerakan disintegrasi bahkan kemungkinan separatis dikarenakan pemerintah pusat tidak adil terhadap daerah untuk masalah bagi hasil kekayaan alam,dan lain-lain




http://politik.kompasiana.com/2014/09/16/otonomi-daerah-dalam-pembangunan--688380.html