Minggu, 12 Juni 2016

KASUS MONOPOLI PASAR STUDI KASUS CARREFOUR INDONESIA (TUGAS ASPEK HUKUM dalam EKONOMI)

KASUS MONOPOLI PASAR
STUDI KASUS CARREFOUR INDONESIA

Bisnis ritel atau perdagangan eceran memegang peranan yang sangat penting dalam kegiatan bisnis di Indonesia, baik ditinjau dari sudut konsumen maupun produsen.   Dari sudut produsen, pedagang eceran dipandang sebagai ujung tombak perusahaan yang akan sangat menentukan laku tidaknya produk perusahaan.  Melalui pengecer pula para produsen memperoleh informasi berharga tentang komentar konsumen terhadap barangnya seperti bentuk, rasa, daya tahan, harga dan segala sesuatu mengenai produknya.   Sementara jika dipandang dari sudut konsumen, pedagang eceran juga memiliki peranan yang sangat penting karena bertindak sebagai agen yang membeli, mengumpulkan, dan menyediakan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan atau keperluan pihak konsumen.

Seiring dengan perkembangan, persaingan usaha , khususnya pada bidang ritel diantara pelaku usaha semakin keras. Untuk mengantisipasinya, Pemerintah dan DPR menerbitkan Undang Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Praktek Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dengan hadirnya undang-undang tersebut dan lembaga yang mengawasi pelaksanaannya, yaitu KPPU, diharapkan para pelaku usaha dapat bersaing secara sehat sehingga seluruh kegiatan ekonomi dapat berlangsung lebih efisien dan memberi manfaat bagi konsumen.

Di dalam kenyataan yang terjadi, penegakan hukum UU praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat ini masih lemah. Dan kelemahan tersebut ”dimanfaatkan” oleh  pihak CARREFOUR Indonesia untuk melakukan ekspansi bisnis dengan mengakuisisi PT Alfa Retailindo Tbk. Dengan mengakuisisi 75 persen saham PT Alfa Retailindo Tbk dari Prime Horizon Pte Ltd dan PT Sigmantara Alfindo. Berdasarkan laporan yang masuk ke KPPU, pangsa pasar Carrefour untuk sektor ritel dinilai telah melebihi batas yang dianggap wajar, sehingga berpotensi menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat.

PERMASALAHAN 
       Dari latar belakang di atas dapat ditarik suatu permasalahan sebagai berikut: Sejauh mana PT Carrefour melanggar Undang Undang No.5 Tahun 1999, sanksi apa yang telah diberikan untuk pelnggaran tersebut, dan apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah dalam menangani kasus tersebut?
           
TUJUAN 
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk:
1. Mengetahui pelanggaran PT Carrefour terhadap Undang Undang No.5 Tahun 1999
2. Mengetahui alternative pemecahan masalah terhadap pelanggaran yang telah dilakukan oleh PT Carrefour.


Kasus PT Carrefour Indonesia dan keputusan KPPU
         Kasus PT Carrefour sebagai Pelanggaran UU No. 5  Tahun 1999. Salah satu aksi perusahaan yang cukup sering dilakukan adalah pengambil alihan atau akuisisi. Dalam UU No.40/2007 tentang Perseroan terbatas disebutkan bahwa hanya saham yang dapat diambil alih. Jadi, asset dan yang lainnya tidak dapat di akuisisi.
      Akuisisi  biasanya menjadi salah satu jalan untuk meningkatkan efisiensi dan kinerja perusahaan. Dalam bahasa inggrisnya  dikenal dengan istilah acquisition atau take over . pengertian acquisition atau take over  adalah pengambilalihan suatu kepentingan pengendalian perusahaan oleh suatu perusahaan lain. Istilah Take over  sendiri memiliki 2 ungkapan , 1.Friendly take over (akuisisi biasa) 2. hostile take over (akuisisi yang bersifat “mencaplok”) Pengambilalihan tersebut ditempuh dengan cara membeli saham dari perusahaan tersebut. 
        Esensi dari akuisisi adalah praktek jual beli. Dimana perusahaan pengakuisisi akan menerima hak atas saham dan perusahaan terakuisisi akan menerima hak atas sejumlah uang harga saham tersebut. Menurut pasal 125 ayat (2) UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menjelaskan bahwa pengambilalihan dapat dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan. Jika pengambilalihan dilakukan oleh perseroan, maka keputusan akuisisi harus mendapat persetujuan dari RUPS. Dan pasal yang sama ayat 7 menyebutkan pengambilalihan saham perseroan lain langsung dari pemegang saham tidak perlu didahului dengan membuat rancangan pengambilalihan ,tetapi dilakukan langsung melalui perundingan dan kesepakatan oleh pihak yang akan mengambil alih dengan pemegang saham dengan tetap memperhatikan anggaran dasar perseroan yang diambil alih. 
         Dalam mengakuisisi perusahaan yang akan mengambilalih harus memperhatikan kepentingan dari pihak yang terkait yang disebutkan dalam UU. No. 40 tahun 2007, yaitu Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan perseroan, kreditor , mitra usaha lainnya dari Perseroan; masyarakat serta persaingan sehat dalam melakukan usaha. 
      Dalam sidang KPPU tanggal 4 november 2009, Majelis Komisi menyatakan Carrefour terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 17 (1) dan Pasal 25 (1) huruf a UU No.5/1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.. Pasal 17 UU No. 5/1999, yang memuat ketentuan mengenai larangan bagi pelaku usaha untuk melakukan penguasaan pasar, sedangkan Pasal 25 (1) UU No.5/1999 memuat ketentuan terkait dengan posisi dominan. Majelis Komisi menyebutkan berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh selama pemeriksaan perusahaan itu pangsa pasar perusahaan ritel itu meningkat menjadi 57,99% (2008) pasca mengakuisisi Alfa Retailindo. Pada 2007, pangsa pasar perusahaan ini sebesar 46,30%. sehingga secara hukum memenuhi kualifikasi menguasai pasar dan mempunyai posisi dominan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17 Ayat 2 UU No.5 Tahun 1999. 
         Berdasarkan pemeriksaan, menurut Majelis KPPU, penguasaan pasar dan posisi dominan ini disalahgunakan kepada para pemasok dengan meningkatkan dan memaksakan potongan-potongan harga pembelian barang-barang pemasok melalui skema trading terms. Pasca akuisisi Alfa Retailindo, sambungnya, potongan trading terms kepada pemasok meningkat dalam kisaran 13%-20%. Pemasok, menurut majelis Komisi, tidak berdaya menolak kenaikan tersebut karena nilai penjualan pemasok di Carrefour cukup signifikan.

Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain:
1.   Pelaku bisnis dan pihak yang terkait mampu mengendalikan diri untuk tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang dan menekan pihak lain. 
2.  Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat. 
3.  Pelaku bisnis hendaknya menciptakan persaingan bisnis yang sehat. 
4. Pelaku bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa mendatang. 
5.  Pelaku bisnis harus konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama.


Menurut pendapat saya pelanggaran etika bisnis dapat melemahkan daya saing hasil industri dipasar internasional. Ini bisa terjadi sikap para pengusaha kita. Kecenderungan makin banyaknya pelanggaran etika bisnis membuat keprihatinan banyak pihak. Pengabaian etika bisnis dirasakan akan membawa kerugian tidak saja buat masyarakat, tetapi juga bagi tatanan ekonomi nasional. Disadari atau tidak, para pengusaha yang tidak memperhatikan etika bisnis akan menghancurkan nama mereka sendiri dan negara.




KPPU BUKTIKAN ADA PERSEKONGKOLAN PROYEK e-KTP (TUGAS ASPEK HUKUM dalam EKONOMI)

KPPU BUKTIKAN ADA PERSENGKOKOLAN PROYEK e-KTP

    Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan ada persekongkolan dalam tender penerapan KTP Berbasis NIK Nasional (e-KTP) Tahun 2011-2012. Tindakan haram itu menurut KPPU dilakukan Panitia Tender, Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI), dan PT Astra Graphia Tbk. Demikian putusan Majelis KPPU, Selasa (13/11).
 Dalam putusan tersebut, majelis komisi membeberkan bentuk-bentuk persekongkolan yang dilakukan antara PNRI dan Astra Graphia. Seperti persamaan dari jumlahdan produk yang digunakan. Lalu, persamaan kesalahan pengetikan dalam dokumen penawaran terkait produk Irish Scannerdari L-1.
  Kesamaan itu dinilai majelis sebagai bentuk konsekuensi dari prinsipal yang sama, yaitu L-1. Sehingga, baik jumlah produk yang ditawarkan dan kesalahan pengetikan yang sama dalam dokumen penawaran dimungkinkan terjadi. Persekongkolan penggunaan produk L-1 ini juga diperkuat dengan tidak adanya persyaratan untuk menggunakan Irish Scanner di awal tender.Terhadap inisiatif PNRI dan Astra Graphia menggunakan Irish Scanner,menurut majelis karenapersyaratan tambahan penggunaan Irish Scanner lahir kurang dari 24 jam menjelang batas akhir penyerahan dokumen penawaran ke panitia. Hingga akhirnya, majelis berkesimpulan bahwa terjadi kebocoran informasi yang dicetuskan oleh panitia tender dan informasi tersebut disebarkan ke peserta.
  Selain terbukti melakukan persekongkolan secara horizontal, majelis juga menilai telah terjadi persekongkolan secara vertikal. Antara panitia tender dengan Astra Graphia dan PNRI. Bentuk persekongkolan yang dilakukan panitia tender adalah memfasilitasi dan mengatur pemenang tender. Pengaturan pemenang tender salah satunya dilakukan dengan post biddingterkait ISO 9001 dan 14001 oleh PNRI. Menurut majelis, post bidding berupa mengubah, menambah, mengganti dokumen setelah batas waktu pengumpulan berkas berakhir. Hal ini terbukti dari pemasukan dokumen Surat Keterangan Topaz pada 8 April 2011. Sementara itu, batas akhir pengumpulan berkas adalah 7 April 2011.
  Panitia pun tak luput dari pengamatan KPPU karena dianggap lalai, terkait strategi bisnis PNRI. BUMN itu mencantumkan harga Rp0 terhadap Irish Scanner yang sebenarnya Rp109 miliar. “Panitia lalai karena tidak melakukan klarifikasi atas Rp0 ini. Ini tidak rasional mengingat perusahaan berorientasi profit,” sebut Anggota Majelis Dedie S Martadisastra. Dia tambahkan majelis berkesimpulan ada pengaturan harga antara PNRI dengan Astra Graphia sebesar Rp109 miliar. Tak hanya itu persaingan usaha tidak sehat yang dikupas KPPU dari tender e-KTP. Bentuk lain adalah penggabungan paket kerja dari sembilan unit menjadi satu paket pengerjaan. Majelis berpendapat seharusnya paket tersebut dipecah agar banyak calon peserta potensial dapat mengikuti proses tender.
   Pertimbangan majelis dalam memutuskan telah terjadi persekongkolan diperkuat dengan diabaikan Peraturan Presiden (Perpres) No.54 Tahun 2010tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah oleh Panitia Tender. Bentuk pengabaian adalah panitia tidak memperhatikan Kemampuan Dasar (KD) dan pengalaman peserta tender. Padahal, dalam Pasal 10 ayat (4) Perpres 54 Tahun 2010 tersebut mempersyaratkan harus memperhatikan pengalaman dan KD suatu perusahaan. Dan, perusahaan pernah menangani proyek senilai Rp1,2 triliun. Sementara itu, fakta dipersidangan terbukti bahwa PNRI tidak pernah menangani proyek tender serupa. Bahkan, PNRI hanya pernah menangani tender senilai puluhan miliar.
    Meskipun dalam pembelaannya, panitia tender menyatakan tidak mengabaikan Perpres tersebut karena Pasal 19 ayat (1) huruf h menyatakan pengalaman dan KD tidak diperlukan untuk proyek konsultasi. Namun, majelis tidak sepakat dengan pendapat tersebut. Menurut majelis, dalil tersebut tidak logis. “Untuk itu, menyatakan Panitia Tender telah mengatur dan memfasilitasi PNRI sebagai pemenang tender. Dan, memutuskan PNRI membayar denda sebesar Rp20 miliar dan disetor ke kas negara, dan menghukum Astra Graphia membayar denda sebesar Rp4 miliar,” putus Ketua Majelis Komisi Sukarmi.

Beda Pendapat
     Putusan majelis komisi tidka bulat. Ketua Majelis Komisi Sukarmi dan Anggota Majelis Nawir Messi tidak sependapat dengan musyawarah majelis komisi. Sukarmi berpendapat persamaan produk dan jumlah produk yang digunakan tidak serta merta membuktikan telah terjadi persaingan usaha tidak sehat. Begitu juga penambahan persyaratan terkait Irish Scanner.
  Menurutnya, penambahan tersebut tidak dilarang sepanjang mendapat persetujuan seluruh peserta. Lagi pula, penambahan tersebut hanya bersifat nilai tambah atau alternatif solusi untuk mem-back-up peserta yang tidak bisa diambil sidik jarinya. Ketidaksetujuan Sukarmi terhadap putusan majelis lainnya adalah mengenai harga Rp0 yang diajukan PNRI. Lagi-lagi, menurut pengajar di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya ini mengatakan hal tersebut tidak menjadi soal. Pasalnya, panitia tidak menghitung harga barang per item, tetapi per paket.
    Terkait persoalan penggabungan paket pekerjaan, Sukarmi juga tidak melihat hal tersebut menjadi masalah lagi. Karena, perdebatan mengenai penggabungan atau pemisahan paket pekerjaan telah diselesaikan dalam rapat musyawarah bersama yang dipimpin Menteri Dalam Negeri. Senada dengan Sukarmi, Nawir Messi juga tidak sepakat dengan majelis komisi yang mempersoalkan tentang Irish Scanner, penggabungan paket, dan post bidding. Menurutnya, Irish Scanner hanyalah solusi untuk antisipasi kesulitan dalam mendokumentasikan sidik jari masyarakat. Sehingga, persoalan Irish Scanner tidak perlu dipersoalkan.
   Mengenai penggabungan paket, Nawir Messi melihat penggabungan paket tidak serta merta dinyatakan melanggar Pasal 22 UU No.5 Tahun 1999. Pasalnya, ia melihat ada 11 peserta yang ikut tender dan sebanyak delapan dinyatakan lolos. Hal ini membuktikan tidak menghambat persaingan usaha.
   Sedangkan kasus ISO dan post bidding, Nawir Messi menilai persoalan ini belum terungkap secara jelas di persidangan. Sehingga, pembuktiannya dinilai masih lemah dan dianggap tidak dapat dijadikan bahan pertimbangan. Menurutnya, terkait kasus ISO, investigator juga tidak mencantumkan persoalan ISO di Laporan Dugaaan Pelanggaran. “Investigator tidak menyediakan fakta yang cukup terkait persoalan ini,” pungkas Nawir. Kuasa hukum PNRI Jimmy Simanjuntak akan mengajukan keberatan atas putusan ini ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Salah satu poin yang hendak dicantumkan dalam memori keberatan adalah terkait post bidding. “Dalam tubuh majelis saja terdapat perbedaan pendapat mengenai post bidding ini. Nanti, ini akan saya cantumkan dalam memori keberatan,” respon Jimmy Usai persidangan.
   Sementara itu, kuasa hukum panitia tender e-KTP Soendoro Soepringgo menghormati keputusan majelis. Ia melihat pembuktian persekongkolan ini sangat kompleks karena kesalahan administrasi dan persekongkolan sangat tipis. “Untuk itu, untuk sementara kita terima dulu putusan majelis,” jawab Soendoro. Namun, Ia menyayangkan dissenting opinion tersebut. Pasalnya, perbedaan pendapat tersebut hanya dilakukan oleh dua majelis hakim dari lima majelis.